Mentari terus memaksakan kakinya untuk menyusuri jalanan sempit. Bebatuan yang sering kali membuatnya terjatuh tidak ia hiraukan. Demi Rafa! Hanya itu alasannya. Dia tidak akan sudi melihat seseorang yang dicintainya tertekuk dingin oleh sapaan angin yang sepertinya akan membawa gerimis hujan.
Tik…! Tik….!
Akhirnya gerimis hadir dan membuat hati Mentari panik. Pompaan napasnya semakin cepat. Tangannya mendekap erat pada apa yang ia bawa. Sebuah kehangatan cinta yang mampu menghangatkan Rafa, sekalipun hujan besar akan turun nanti. Meski sekarang masih gerimis yang muncul, tapi Mentari sudah menyiapkan payung sebelum hujan untuk menyelamatkan Rafa.
Waktu di tangannya telah memanggil sebuah nama, entah nama siapa itu, namun terdengar sebanyak enam kali. Sepagi ini Mentari rela keluar dari istananya. Kuatnya rasa di hati yang tidak menginginkan lelaki kumal itu terbaring lesuh dengan wajah pucat pasi, membuat Mentari seperti ini.
Ya. Seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, Mentari melihat Rafa berbaju usang yang penuh sobekan dengan penampilannya yang acak-acakan. Di dalam kertas bervolume yang cukup besar itu, Mentari kembali menemukannya.
“Rafa!” seru Mentari dengan kekhawatirnya. “Sehari tidak bertemu saja, aku merasa rindu,” Mentari langsung mendekap hangat tubuh Rafa, tanpa membiarkan raganya tertular kekumalan yang lelaki itu miliki.
“Dingin…,” gumam Rafa sembari memegang erat tangan Merntari. Mencoba untuk mendapatkan kehangatan darinya.
Segera Mentari ambil kehangatan cintanya itu dari keresek yang terdiam di sampingnya. Dengan tulus ia pakaikan kehangatan itu pada Rafa. Sebuah sweater dengan rajutan cinta asli dari lubuk hatinya yang paling dalam.
“Sudah mulai membaik?” tanya Mentari pelan dan mendapat jawaban dari kepala Rafa yang terangguk sesaat setelah itu.
Tangisan langit yang semula hanya gerimis, kini menjadi hujan besar. Benar apa yang telah Mentari kirakan. Semoga saja Rafa masih diberi keselamatan dari-Nya, pikir Mentari. Kini ia menggundah. Tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya setelah ini.
Tidak mungkin ia membiarkan Rafa mati kedinginan. Rafa telah menjadi pengisi hati Mentari yang membuatnya nyaman untuk berada di sisinya. Entah mengapa, tapi cinta hadir begitu saja kepada orang yang tidak pernah diduga sebelumnya.
Setelah kedua orang tua Rafa meninggal, ia harus menghadapi dunia ini sendiri. Sesekali Mentari hadir membawa sebungkus nasi dengan goreng tempe. Kesederhanaan hidup Mentari membuatnya terbatas untuk mengulurkan tangan pada Rafa.
“Raf, kita harus pergi dari sini. Kardus ini akan rusak terguyur hujan,” tanpa pikir panjang Mentari langsung menarik paksa lengan Rafa dan membawanya pergi.
Entah kenapa Mentari hanya berpikir bahwa dirinya harus berlari secepat mungkin dan segera menemukan teduhan. Tanpa sepengetahuannya, kaki Rafa semakin membeku. Kulitnya mengkerut menahan dingin. Sayup-sayup matanya hanya melihat gambaran buram. Semakin lama semakin tidak jelas, hingga akhirnya…
Bruk…!
Rafa terjatuh. Mentari menatapinya penuh kesedihan. Antara air mata dengan tetesan hujan telah bercampur menjadi satu. Kakinya mulai bergerak menghampiri tubuh yang terbaring santai di atas tanah basah.
“Rafa…!” sekencang mungkin Mentari mencoba memanggil tanpa henti, meski sampai suaranya tidak bisa keluar lagi. Namun Rafa sudah tidak lagi bisa mendengar jeritan Mentari. Tuhan telah memberikan jalan yang terbaik dengan mengambil nyawanya.
Seketika hujan besar kembali pulang. Ia pergi bersama Rafa dan gerimis itu, yang telah menemani saat Rafa berada di ambang kematian. *
Penulis : Muhammad Dede Firman
Jumlah : 498 kata (tidak termasuk judul)
FF ini sedang diikutsertakan Lomba FF MINGGUAN PUSTAKA INSPIRASI-KU.
Link lomba: